Page 1 of 5
p-ISSN: 2477-8494 e-ISSN: 2580-2747 Jurnal Agrotek Indonesia (8) 1: 19-23 (2023)
Respon Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merril) Varietas Anjasmoro Terhadap Pemberian Pembenah
Tanah dan Pupuk NPK pada Lahan Kering Masam
Response of Soybean (Glycine max L. Merril) Anjasmoro Varieties due to Soil Improvement and NPK
Fertilizer in Dry Acid Land
Rika Yayu Agustini1*) dan Vera Oktavia Subrdja1)
1)Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang
Jln. HS Ronggo Waluyo Telukjambe Karawang Jawa Barat 41361
*Penulis untuk korespondensi: rika.agustini@faperta.unsika.ac.id
Diterima 27 Mei 2023 / Disetujui 5 Juni 2023
ABSTRACT
Acid dry land has the opportunity to be developed either through intensification or extensification
programs. Opportunities for intensification are still open, because the average production level achieved has not
been optimal. Soybean (Glycine max L) is one of the main legume commodities which is a national mainstay
because it is the most popular source of vegetable protein for Indonesian people in general, for food diversification
in supporting national food security. Practical steps to increase soybean productivity can also be through the
efficient use of fertilizers, both organic and inorganic fertilizers. This experiment was carried out from July to
October 2018 at the YAPETRI (Peruri Pension Foundation) Garden, which is located in Sapta Marga Hamlet
RT.07 RW.03, Sinarbaya Village, Telukjambe Timur, Karawang. The research method used was an experiment
with a factorial Randomized Block Design (RBD). The first factor is the type of soil enhancer which consists of 3
levels, namely straw organic fertilizer, organic waste fertilizer and bottom ash. The second factor was the dosage
of Phonska fertilizer consisting of 4 levels (100% NPK, 75% NPK, 50% NPK and 25% NPK), resulting in 12
treatment combinations of experimental units which were repeated 3 times. Based on the results of the study, there
was no interaction between the effect of soil amendment treatment and the effect of inorganic compound fertilizers
on the growth and yield of soybeans of the Anjasmoro variety (Glycine max L. Merril) on dry land.
Keywords: Anjasmoro, Ameliorant, Fertilizer, NPK, Soybean.
ABSTRAK
Lahan kering masam berpeluang untuk di kembangkan, baik melalui program intensifikasi maupun
ekstensifikasi. Peluang intensifikasi masih sangat terbuka, karena rata–rata tingkat produksi yang di capai belum
optimal. Kedelai (Glycine max L.) adalah salah satu komoditas utama kacang-kacangan yang menjadi andalan
nasional karena merupakan sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia. Kacang ini juga
termasuk daftar diversifikasi pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Langkah praktis untuk
meningkatkan produktivitas kedelai yaitu melalui penggunaan pupuk secara efisien, baik pupuk organik maupun
pupuk anorganik. Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2018 di Kebun YAPETRI
(Yayasan Pensiunan Peruri), yang terletak di Dusun Sapta Marga RT.07 RW.03, Desa Sinarbaya Kecamatan
Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Faktor pertama adalah jenis pembenah tanah yang terdiri dari 3
taraf, yaitu pupuk organik jerami, pupuk organik sampah dan bottom ash. Faktor kedua dosis pupuk phonska
terdiri dari 4 taraf (100% NPK, 75% NPK, 50% NPK dan 25% NPK), sehingga menghasilkan 12 kombinasi
perlakuan unit percobaan yang akan diulang sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian maka tidak terdapat
interaksi pengaruh perlakuan pembenah tanah dan pengaruh pupuk majemuk anorganik terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman kedelai varietas Anjasmoro (Glycine max L. Merril) pada lahan kering.
Kata kunci: Anjasmono, bahan amelioran, kedelai, NPK, pupuk
PENDAHULUAN
Ciri utama lahan kering masam adalah pH
tanah yang tergolong rendah (<5,5). pH tanah yang
rendah berkaitan dengan kadar aluminium (Al)
tinggi, menyebabkan fiksasi fosfor (P) tinggi dan
kapasitas tukar kation (KTK) juga rendah.
Kandungan besi (Fe) dan mangan (Mn) mendekati
batas meracuni serta miskin elemen biotik
(Abdurahman et al, 2008). Balitan (2006)
menyebutkan bahwa luas lahan kering masam di
Indonesia sekitar 107,4 juta Ha, dimana sekitar 48%
Page 2 of 5
p-ISSN: 2477-8494 e-ISSN: 2580-2747 Jurnal Agrotek Indonesia (8) 1: 19-23 (2023)
dari total luasan tersebut memiliki kemiringan lahan
<15% yang berpotensi sebagai pengembangan
lahan pertanian di Indonesia.
Lahan kering masam berpeluang di
kembangkan baik melalui program intensifikasi
maupun ekstensifikasi. Peluang intensifikasi masih
terbuka, karena rata–rata tingkat produksi yang di
capai belum optimal. Sagala (2010) menyebutkan
bahwa rata–rata produksi padi gogo pada lahan
kering saat ini adalah sekitar 2 ton/ha, padahal
potensinya adalah 5 ton/ha (Sagala, 2010). Rata–
rata produksi tanaman lainnya seperti jagung dan
kedelai pada tanah mineral masam juga masih di
bawah potensinya sehingga peluang intensifikasi
masih terbuka.
Kedelai (Glycine max L) adalah salah satu
komoditas utama kacang-kacangan yang menjadi
andalan nasional karena merupakan sumber protein
nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia
pada umumnya, untuk diversifikasi pangan dalam
mendukung ketahanan pangan nasional
(Hasanuddin, et al., 2005). Konsumsi kedelai
utamanya dalam bentuk tempe dan tahu yang
merupakan lauk pauk utama bagi masyarakat
Indonesia.
Ada beberapa langkah praktis yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
kedelai, misalnya penggunaan pupuk secara efisien,
waktu tanam yang tepat, daya dukung lahan yang
sesuai, serta penggunaan varietas unggul yang
memiliki daya adaptasi yang tinggi/luas pada
berbagai agroekosistem (Martodireso dan Suryanto,
2001). Salah satunya upaya penanaman varietas
unggul kedelai seperti varietas Anjasmoro yang
mempunyai potensi hasil tinggi mencapai 3,20
ton/ha, meskipun penggunaan varietas unggul saja
tidak cukup dalam upaya meningkatkan produksi
dan produktivitas kedelai.
Langkah praktis untuk meningkatkan
produktivitas kedelai juga dapat melalui
penggunaan pupuk secara efisien, baik pupuk
organik maupun pupuk anorganik. Pupuk organik
merupakan salah satu bahan pembenah tanah,
dimana fungsinya dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah. Abu dasar merupakan
bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembenah tanah untuk memperbaiki kualitas tanah
mineral masam. Abu dasar dapat memperbaiki
sifat-sifat kimia tanah, seperti meningkatkan pH
tanah, serta menambah ketersediaan hara makro dan
mikro pada tanah (Agustini et al., 2017). Desain
komposisi pembenah tanah yang terdiri dari pupuk
jerami, pupuk sampah kota, dan abu dasar
diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik
terhadap karakter atau sifat biologi tanah.
Pembenah tanah di harap memberikan lingkungan
tumbuh tanaman yang lebih kondusif sehingga
dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Selain pemberian bahan pembenah tanah,
pemberian pupuk anorganik sebagai tambahan
nutrisi juga diperlukan. Pupuk anorganik majemuk
merupakan pupuk anorganik yang memiliki lebih
dari satu unsur hara. Pupuk NPK Phonska
(15;15;15) merupakan salah satu produk pupuk
majemuk yang telah beredar di pasaran dengan
kandungan Nitrogen (N) 15 %, Fosfor (P2O5) 15%,
Kalium (K2O) 15 %, Sulfur (S) 10% dan kadar air
maksimal 2%. Pupuk majemuk ini hampir
seluruhnya larut dalam air, sehingga unsur hara
yang dikandungnya dapat segera diserap dan
digunakan oleh tanaman dengan efektif (Kurniadie,
2002), namun demikian pemakaian pupuk
anorganik berlebih dapat menyebabkan berbagai
masalah, sehingga dalam penggunaannya harus
dikombinasikan dengan pupuk organik. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi dosis
bahan amelioran dan pupuk NPK terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Glycine
max L. merril) Varietas Anjasmoro pada lahan
kering masam.
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Juli
sampai dengan Oktober 2018 di Kebun YAPETRI
(Yayasan Pensiunan Peruri), yang terletak di Dusun
Sapta Marga RT.07 RW.03, Desa Sinarbaya
Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten
Karawang.
Bahan yang digunakan adalah benih kedelai
varietas Anjasmoro (Glycine max L. Merril),
kompos jerami, kompos sampah kota, abu dasar,
pupuk anorganik phonska, air, pestisida, dan
herbisida. Alat yang digunakan dalam percobaan ini
antara lain cangkul, timbangan kasar, golok, alat
tugal, roll meter, hand sprayer, ajir bambu,
timbangan digital, embrat, 22 knapsack sprayer,
papan nama atau label, alat pengukur kadar air
(grain moisture meter), dan alat tulis.
Metode penelitian yang digunakan adalah
eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) faktorial. Faktor pertama adalah jenis
pembenah tanah yang terdiri dari 3 taraf, yaitu
pupuk organik jerami, pupuk organik sampah dan
bottom ash. Faktor kedua dosis pupuk phonska
terdiri dari 4 taraf (100% NPK, 75% NPK, 50%
NPK dan 25% NPK), sehingga menghasilkan 12
kombinasi perlakuan unit percobaan yang akan
diulang sebanyak 3 kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman
Berdasarkan hasil analisis ragam taraf 5%
menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh
interaksi antara pembenah tanah dan pupuk NPK
terhadap tinggi tanaman kedelai (Glycine max L.
Page 3 of 5
p-ISSN: 2477-8494 e-ISSN: 2580-2747 Jurnal Agrotek Indonesia (8) 1: 19-23 (2023)
Merril) Varietas Anjasmoro pada umur 21 hst, 28
hst, 35 hst dan 42 hst. Keadaan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Tinggi Tanaman Kedelai (Glycine max L.
merril) pada pemberian bahan amelioran
dan pupuk NPK di lahan kering masam
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
Bahan
Amelioran
21 hst 28 hst 35 hst 42 hst
POJ 31.14a 44.26a 56.78a 68.03a
POS 29.90a 41.10a 53.52a 64.90a
BA 30.07a 40.91a 53.88a 64.80a
NPK
100%
NPK
30.20a 41.68a 54.80a 66.66a
75% NPK 30.43a 42.25a 55.60a 66.21a
50% NPK 30.39a 42.79a 56.29a 69.16a
25% NPK 30.45a 41.65a 52.21a 61.61a
KK 6.70 10.52 14.30 18.05
Keterangan: POJ (Pupuk Organik Jerami, POS
(Pupuk Organik Sayuran) dan BA
(Bottom ash). Nilai rata-rata yang
diikuti dengan huruf yang sama pada
kolom yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5%
Pada 28 hst, 35 hst dan 42 hst, pemberian
pupuk NPK dan bahan amelioran memberikan rata- rata tertinggi tinggi tanaman secara berturut-turut
sebesar 42,79 cm, 56,29 cm, dan 69,16 cm,
sedangkan nilai rata-rata tertinggi tinggi tanaman
pada faktor pembenah tanah di tunjukan (pupuk
organik kompos jerami) dengan nilai rata-rata
sebesar 44,26 cm, 56,78 cm, dan 68,03 cm. Tanah
yang digunakan selama percobaan merupakan jenis
tanah ultisol, yang merupakan tanah miskin unsur
hara dengan kandungan bahan organik dan nutrisi
makro yang rendah (Fitriatin et al., 2014). Menurut
Damanik (2010) dosis pupuk dalam pemupukan
harus tepat bila dosis pupuk terlalu rendah tidak ada
pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman
sedangkan dosis terlalu banyak dapat mengganggu
keseimbangan unsur hara dan dapat meracuni
tanaman.
Selain tanah faktor lingkungan lain yang
mempengaruhi tinggi tanaman kedelai yaitu suhu.
Diperkuat oleh Sudadi (2003) yang menyatakan
bahwa faktor lingkungan terutama suhu di sekitar
tanaman merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman, hal
ini didukung dengan kondisi suhu dilahan selama
percobaan berlangsung yang sangat tinggi hingga
mencapai 21-41o C. Suhu tersebut tidak sesuai bagi
pertumbuhan tanaman kedelai. Suhu yang tinggi
akan menyebabkan pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai tidak akan maksimal, karena suhu yang
sesuai dengan tanaman kedelai yaitu 21-34°C,
meski demikian suhu optimum bagi pertumbuhan
tanaman kedelai 23-27° C (Arsyad, 2012).
Jumlah Cabang Pertanaman
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa
tidak terdapat pengaruh interaksi antara bahan
amelioran dan pupuk NPK terhadap jumlah cabang
pertanaman kedelai (Glycine max L. Merril)
varietas anjasmoro pada umur 21 hst, 28 hst, 35 hst
dan 42 hst, akan tetapi terdapat pengaruh mandiri
dari perlakuan pembenah tanah pada umur 21 hst.
Pengaruh pemberian bahan amelioran dan Pupuk
NPK pada jumlah cabang pertanaman dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Cabang Tanaman Kedelai (Glycine
max L. merril) pada pemberian bahan
amelioran dan pupuk NPK di lahan kering
masam
Perlakuan Jumlah Cabang
Bahan
Amelioran
21 hst 28 hst 35 hst 42 hst
POJ 3.22a 5.48a 7.28a 8.32a
POS 2.97b 5.14a 6.85a 8.38a
BA 2.93c 5.25a 6.77a 8.33a
NPK
100% NPK 3.05a 5.18a 6.97a 8.40a
75% NPK 3.05a 5.31a 6.96a 8.14a
50% NPK 2.94a 5.21a 6.93a 8.50a
25% NPK 3.11a 5.46a 7.01a 8.30a
KK 10.22 11.16 9.22 11.44
Keterangan: POJ (Pupuk Organik Jerami, POS
(Pupuk Organik Sayuran) dan BA
(Bottom ash). Nilai rata-rata yang
diikuti dengan huruf yang sama pada
kolom yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5%
Pada 21 hst menunjukan adanya pengaruh
pada salah satu faktor yaitu pada bahan amelioran
tanah yang ditunjukkan oleh pupuk organik kompos
jerami memberikan pengaruh paling baik dengan
rata–rata 3,22 cabang, sedangkan pada pupuk NPK
tidak memberikan pengaruh yang nyata. Sementara,
pada 28 hst dan 35 hst menunjukkan nilai rata-rata
jumlah cabang tertinggi pada pupuk NPK yang di
tunjukan 25% dosis NPK secara berturut-turut
dengan nilai rata-rata sebesar 5,4 dan 7,01 cabang
tanaman, sedangkan nilai rata-rata tertinggi jumlah
cabang pada faktor bahan amelioran ditunjukan
pada pupuk organik kompos jerami dengan nilai
rata-rata sebesar 5,48 dan 7,28 cabang tanaman.
Penambahan unsur hara pada tanaman
melalui pemupukan bekerja berbeda-beda dalam
menguraikan unsur hara tersebut tergantung sifat
dari pupuk yang digunakan. Hal ini diduga karena
pemberian pupuk organik membutuhkan waktu
penguraian yang lama dibandingkan dengan
penggunaan pupuk anorganik dalam hal penyediaan
unsur hara (Abdullah. 1993).
Beberapa faktor misalnya kandungan hara
pada lahan yang digunakan itu rendah, lahan yang
digunakan pada penelitian ini mempunyai