Dinamika Tata Kelola Hutan: Potret Penerapan Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Taman Nasional Kerinci Seblat
DOI:
https://doi.org/10.35706/agrimanex.v3i1.6936Abstrak
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.35 Tahun 2012 mengenai Hutan Adat, status hutan adat yang dulu berada di bawah kewenangan Negera, saat ini dapat di keluarkan dari kawasan hutan Negara dan masyarakat hukum adat diberikan kewenangan untuk mengelola kembali hutan adatnya melalui izin pemerintah. Meski demikian, sampai saat ini masih banyak masyarakat Hukum Adat yang belum juga selesai dan berhasil memperjuangkan kembali hutan adatnya, salah satunya adalah masyarakat Rejang di Kabupaten Lebong, Bengkulu. Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RA/PS) masuk dalam RPJMN 2014-2019. Kebijakan tersebut mengalokasikan 12,7 juta Ha kawasan hutan diperuntukkan sebagai Perhutanan Sosial dan 9 juta Ha sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Meski demikian, kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial dapat dipastikan membutuhkan reformasi politik, ekonomi dan budaya secara lebih luas dimana hal tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik hingga ke tingkat lokal dan daerah. Di Kabupaten Lebong, Masyarakat Hukum Adat Rejang masih harus terus berjuang untuk merebut kembali haknya atas Hutan Adat. Untuk itu, penelitian ini berusaha memberikan gambaran tentang bagaimana praktek pelaksanaan kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial di Taman Nasional Kerinci Seblat. Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lapangan serta dibantu dengan proses diskusi kelompok terfokus atau FGD. Total responden yang diambil keseluruhan dalam penelitian ini sejumlah 35 responden. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat dualisme pengelolaan hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat antara Negara dan Masyarakat Hukum Adat. Selain itu, tata kelola Hutan Adat Rejang tidak bisa dilepaskan dari tata kelola kuteui atau kelembagaan masyarakat adat sendiri; common property. Di Hutan yang mereka sebut sebagai “Demong Samin”, setidaknya terdapat 2 (dua) klasifikasi hak yang melekat pada warga kuteui, yaitu propertior dan owner.
Unduhan
Referensi
Bromley, D.W. 1992. Property Regims In Economic Development: Lesssons and Policy Implications._____,
Hendry, D. 2015. Studi Pola Penguasaan Lahan/Pemanfaatan Sumber Daya Alam Masyarakat di Dalam dan Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Akar Foundation.
Ostrom, E. 2000. Private and Common Property Right. Indana: Indiana University.
Peluso, N.L. 1996. Fruit Trees and Family Trees in an Anthropogenic Forest: Ethics of Access, Property Zones, and Environmental Change in Indonesia. Berkeley: University of California.
Ribot, J.C. & Peluso, N.L. 1992. A Theory of Access, Rural Sociology.
Schlager, E. & Ostrom, E. 1992. Property rights regimes and natural resources: a conceptual analysis Land Economic, 68(3).
Asnan, G. 2016. Sungai Dan Sejarah Sumatera. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.
Hasan, Zulman. 2015. Anok Kutai Rejang: Sejarah Adat Budaya Bahasa dan Aksara. Kabupaten lebong:____.
Scott, JC. 1976. The Moral Economy of The Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. New haven: Yale University.
Siddik, A. 1990. Hukum Adat Rejang. Jakarta: PN BALAI PUSAKA.
Siddik, A. 1990. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Bengkulu: BALAI PUSAKA.
Siddik, A. 1996. SEJARAH BENGKULU 1500-1990. Bengkulu: PN Balai Pustaka.
Budiandrian, B. (2017). Ekologi Politik Penguasaan Lahan dalam Kawasan Hutan Konservasi; Studi Kasus di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Saifuddin. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.